Pages

Sunday, January 3, 2010

TAUHID

TAUHID RUBUBIYAH

Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam rububiyah-Nya ikhlas beribadah kepada-Nya dan menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian tauhid ada tiga macam tauhid rububiyah tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa-sifat. Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yg harus dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.

Tauhid rububiyah yaitu mengesakan Allah SWT dalam segala perbuatan-Nya dgn meyakini bahwa Dia sendiri yg menciptakan segenap makhluk. Allah SWT berfirman Allah menciptakan segala sesuatu. {Az-Zumar 62}.

Dialah yg memberi rezeki bagi tiap manusia binatang dan makhluk lainnya. Dan tidak ada binatang suatu melata pun di bumi melainkan Allahlah yg memberi rezekinya …. .

Dialah penguasa alam dan pengatur semesta Dia yg mengangkat dan menurunkan Dia Yang memuliakan dan menghinakan Mahakuasa atas segala sesuatu Yang mengatur rotasi siang dan malam Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah SWT berfirman Katakanlah ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yg Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yg Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yg Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yg Engkau kehendaki.

Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yg hidup dari yg mati dan Engkau keluarkan yg mati dari yg hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yg Engkau kehendaki tanpa hisab . .

Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rezeki. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yg telah diciptakan oleh sembahan-sembahan selain Allah …. . Atau siapakah dia ini yg memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya .

Allah menyatakan pula tentang keesaan-Nya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. .

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yg telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Dia bersemeyam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yg mengikutinya dgn cepat dan matahari bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah.

Mahasuci Allah Tuhan semesta alam. .

Allah menciptakan semua makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yg menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. Katakanlah ‘Siapakah yg mempunyai langit yg tujuh dan yg mempunyai Arsy yg besar?’ Mereka akan menjawab ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah ‘Siapakah yg di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi tetapi tidak ada yg dapat dilindungi dari -Nya jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah ‘ maka dari jalan manakah kamu ditipu? {Al-Mu’minun 86-89}.

Jadi jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yg menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan utk mengakui-Nya melebihi fitrah pengakuan terhadap yg lain-Nya.

Adapun orang yg paling dikenal pengingkarannya adl Firaun. Meski demikian di dalam hatinya masih tetap meyakini-Nya. Hal itu diterangkan sebagaimana perkataan Musa a.s. kepadanya. Musa menjawab ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yg menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yg nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu hai Firaun seorang yg akan binasa.

. Juga diterangkan dalam An-Naml ayat 14. Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan padahal hati mereka meyakininya.

TAUHID ULUHIYAH

Uluhiyah adalah ibadah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyari'atkan seperti do'a, nadzar, kurban, raja' (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat).

Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu'."

(An-Nahl:36)


"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'."

(Al-Anbiya': 25)

Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib, dan lain-lain: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi-mu selainNya."

(Al-A'raf:59,65,73,85)

"Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, 'Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepadaNya'." (Al-Ankabut: 16)

Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam : "Katakanlah, 'Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyem-bah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (men-jalankan) agama'."

(Az-Zumar:11)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sendiri bersabda: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah."

(HR.Al-BukharidanMuslim)

Kewajiban awal bagi setiap mukallaf adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), serta mengamalkannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disem-bah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu...".

(Muhammad:19)

Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam ada- lah mengikrarkan dua kalimah syahadat. Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, "Allah", yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah). Juga disebut "tauhid ibadah", karena ubudiyah adalah sifat 'abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena keter-gantungan mereka kepadanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikias-kan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi di antara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar.

Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah yang tiada Tuhan selainNya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di mana pun ia berada maka Dia selalu bersamanya."[1]

Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa mereali-sasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.

(An-Nisa':48,116)

"...seandainya mereka mempersekutukan Alah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan."

(Al-An'am:88)

"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."

(Az-Zumar:65)

Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak ...".

(An-Nisa':36)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ..."

(Al-Isra':23)


"Katakanlah, 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu dari Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan kamu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak …'."

(Al-An'am: 151)

A MAKNA TAUHID ASMAK WA SIFAT

Yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam menurut apa yang pantas bagi Allah Subhannahu wa Ta'ala, tanpa ta'wil dan ta'thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala : "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupaiNya, dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diriNya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh RasulNya. Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak seorang pun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak ada sesudah Allah orang yang lebih mengetahui Allah daripada RasulNya.

Maka barangsiapa yang meng-ingkari nama-nama Allah dan sifat-sifatNya atau menamakan Allah dan menyifatiNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya, atau men-ta'wil-kan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan RasulNya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" (Al-Kahfi: 15)

B. Manhaj salaf (para sahabat, tabi'in dan ulama pada kurun waktu yang diutamakan) dalam hal asma' dan sifat allah.


Yaitu mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta'thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk pengertian beriman kepada Allah.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: "Kemudian ucapan yang menyeluruh dalam semua bab ini adalah hendaknya Allah itu disifati dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya, dan dengan apa yang disifatkan oleh As-Sabiqun Al-Awwalun (para generasi pertama), serta tidak melampaui Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Imam Ahmad Rahimahullaah berkata, Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati olehNya untuk DiriNya atau apa yang disifatkan oleh RasulNya, serta tidak boleh melampaui Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Madzhab salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk DiriNya dan dengan apa yang disifatkan oleh RasulNya, tanpa tahrif dan ta'thil, takyif dan tamtsil. Kita mengetahui bahwa apa yang Allah sifatkan untuk DiriNya adalah haq (benar), tidak mengandung teka-teki dan tidak untuk ditebak.

Maknanya sudah dimengerti, sebagaimana maksud orang yang berbicara juga dimengerti dari pembicaraannya. Apalagi jika yang berbicara itu adalah Rasulullah, manusia yang paling mengerti dengan apa yang dia katakan, yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan yang paling baik serta mengerti dalam menjelaskan atau memberi petunjuk. Dan sekali pun demikian tidaklah ada sesuatu pun yang menyerupai Allah. Tidak dalam Diri (Dzat)Nya Yang Mahasuci yang disebut dalam asma' dan sifatNya, juga tidak dalam perbuatanNya.

Sebagaimana yang kita yakini bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala mempunyai Dzat, juga af'al (perbuatan), maka begitu pula Dia benar-benar mempunyai sifat-sifat, tetapi tidak ada satu pun yang menyamaiNya, juga tidak dalam perbuatanNya. Setiap yang mengharuskan adanya kekurangan dan huduts maka Allah Subhannahu wa Ta'ala benar-benar bebas dan Mahasuci dari hal tersebut.

Sesungguhnya Allah adalah yang memiliki kesempurnaan yang paripurna, tidak ada batas di atasNya. Dan mustahil baginya mengalami huduts, karena mustahil bagiNya sifat 'adam (tidak ada); sebab huduts mengharuskan adanya sifat 'adam sebelumnya, dan karena sesuatu yang baru pasti memerlukan muhdits (yang mengadakan), juga karena Allah bersifat wajibul wujud binafsihi (wajib ada dengan sendiriNya).

Madzhab salaf adalah antara ta'thil dan tamtsil. Mereka tidak menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhlukNya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan DzatNya dengan dzat pada makhlukNya. Mereka tidak menafikan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya, atau apa yang disifatkan oleh RasulNya. Seandainya mereka menafikan, berarti mereka telah menghilangkan asma' husna dan sifat-sifatNya yang 'ulya (luhur), dan berarti mengubah kalam dari tempat yang sebenarnya, dan berarti pula mengingkari asma' Allah dan ayat-ayatNya.


No comments:

Post a Comment